









Wonogiri
Abstract: Every human being has committed sins and offenses against God. However, the existence of a church that is experiencing pros and cons on issues related to pastoral counseling for couples who are pregnant outside of marriage, many provide different views, with the main center being the Bible, but if everyone has a different opinion, then where will the controversial problem of the congregation be taken if something like that happens whether it is left alone or is there a way out that must be taken. Using a descriptive qualitative method with a literature study approach, it can be concluded that the presence of a church as a means for those experiencing these problems is pastoral counseling that can help them find solutions.
Keywords: Christian marriage; pastoral counseling; pregnant before marriage
Pengarang : Otenius Jaya Waruwu, Johanis Metanfanuan, Apriyati
Tanggal Terbit : Agustus 2024
Fenomena meningkatnya kasus kehamilan sebelum menikah di kalangan jemaat, yang menunjukkan perlunya pendekatan pastoral yang efektif. Salah satu contohnya yang terkait dengan hal ini, terkhusunya di Indonesia, di mana Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasioanl (BKKBN) Hasto Wardoyo menekankan pentingnya pendidikan seksual, karena ada banyak kasus yang telah terjadi hal itu menyusul temuan lima puluh ribu anak menikah dini karena hamil di luar nikah.[1] Berdasarkan data Komnas Perempuan, dispensasi perkawinan anak meningkat tujuh kali lipat sejak 2016; total permohonan dispensasi pada tahun 2021 mencapai 59.709. Gereja dihadapkan pada tan-tangan untuk memberikan pengajaran dan konseling yang sesuai dalam mendampingi pa-sangan yang mengalami situasi ini, agar mereka dapat menghadapi konsekuensi dan tan-tangan moral yang ada. Oleh karena itu pentingnya peran kekristenan dalam mengak-tualisasikan pendampingan bagi mereka yang terjatuh sangat diperlukan. Kata peran merupakan makna bagi orang yang menjadi atau melakukan sesuatu yang khas, atau perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh orang yang berkedudukan di masya-rakat. Dalam hal ini jika ditujukan pada sifat kolektif di dalam masyarakat contohnya yaitu himpunan atau organisasi, maka dalam peranan dapat pula diartikan sebagai perangkat tingkah yang diharapkan dimiliki oleh sebuah organisasi yang memiliki kedudukan di dalam sebuah masyarakat.
Istilah peranan (role) merupakan “kedudukan”;istilah ini sangat erat kaitannya dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dalam menjalankan satu peranan.[2] Apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya berarti ia menjalankan suatu peranan. Namun, setiap orang pasti memiliki atau mempunyai bentuk-bentuk peranan yang berasal dari pola-pola pergaulan hidupnya, sehingga dalam hal ini peranan yang menentukan apa yang diperbuatnya bagi lingkungan masyarakat serta ke-sempatan-kesempatan apa yang diberikan kepada masyarakat dan demikian juga sebaliknya. Pada dasarnya peranan itu dibutuhkan dalam segala segi bermasyarakat, ka-rena jika tidak ada peranan dalam sebuah masyarakat maka akan sia-sia. Setiap orang mempunyai kesempatan yang baik dalam peranannya dalam bermasyarakat karena dari pada itu akan menciptakan suasana yang baik dan damai dengan lingkungan masyarakat, namun dalam hal ini terkadang kesempatan-kesempatan itu kadang tidak digunakan dengan baik dengan alasan bahwa adanya tingkatan minoritas dan mayoritas dalam kehidupan bermasyarakat. Terkadang peranan ini juga sangat mentukan bagaimana cara untuk memimpin dan didengarkan dengan baik, karena mempunyai kedudukan atau peranan yang berpengaruh. Moelyono mengatakan bahwa suatu hal yang positif yang dapat “mempengaruhi”, dalam hal ini memiliki arti yang positif yang diharapkan dapat mempengaruhi sesuatu yang lain.[3] Demikian pula halnya dalam peranan pendidikan agama Kristen pada masyarakat multikultural; melalui Pendidikan Agama Kristen ini diharapkan terciptanya suatu nilai-nilai yang postif bagi seluruh lapisan masyarakat.
Jonidius Illu dalam risetnya menekankkan tentang prosedur pelayanan pastoral ter-hadap pasangan yang hamil di luar nikah.[4] Demikian juga topik serupa dibahas oleh Junius Halawa, di mana ia menekankan tentang cara untuk menyelesaikan persoalan hamil di luar nikah dengan menerapkan model pastoral konseling psikologi alkitabiah bagi perempuan yang telah melakukan hubungan seks sebelum menikah.[5] Artikel ini bertujuan untuk memperlihatkan peran gereja dalam pengajaran pastoral konseling terhadap pasangan hamil sebelum menikah, di mana dengan menekankan pengajaran koonseling dapat mem-bantu mencari solusi untuk menyelasaikan masalah hamil diluar nikah.
Penelitian ini mengunakan metode penelitian pustaka dengan pendekatan kualitatif des-kriptif,[6] dengan dasar penggunaan metode deskriptif analisi.[7] Maka data-data peran gereja dalam pengajaran pastoral konseling terhadap pasangan hamil sebelum menikah yang ditemukan tersebut diinvertarisasi baik maknanya maupun konteksnya. Setelah teru-muskan maka dikembangkan penerapannya untuk orang percaya masa kini supaya me-miliki paradigma dalam memperlakukan pastoral kosseling. Kajian ini menggunakan Alkitab sebagai sumber primer yang dapat ditemukan ayat-ayat yang memuat mem-bangun pentingnya onseling terhadap mereka yang mengalami kehamilan sebelum meni-kah. Kemudian peneliti menelusuri konteks tersebut pada terbitan jurnal untuk menambah penelitian pustaka ini.
Salah satu fokus pelayanan sebuah gereja saat ini bukan hanya sekadar dalam menuntun dan membimbing jemaat dalam iman saja melainkan juga dalam hal memberikan sebuah pemahaman bahwa, salah satu fokus dalam pelayanan geraja adalah mempersiapkan setiap keluarga Kristen supaya meraka dapat hidup sesuai dengan kehendak Tuhan dan bahkan dapat menjadi teladan bagi sesama orang Kristen. Ketika pernikahan dipersiapkan untuk sekali seumur hidup, maka dari pada itu perlu adanya peranan dalam sebuah gereja. Upaya gereja dalam memwujudkan setiap warga jemaat gereja dapat hidup kudus adalah salah satunya dengan memberikan pengajaran tentang kasih, cinta dan pilihan pasangan yang sesuai dengan Alkitab agar para jemaat terkhususnya kaum muda-mudi supaya tidak melakukan hal-hal yang dapat merugikan diri mereka dan mengecewakan Tuhan dengan berbuat dosa perzinahan atau melakukan hubungan seks diluar pernikahan yang meng-akibatkan pada kehamilan di luar pernikahan yang kudus. Dalam pembahasan ini maka dapat kita sama-sama belajar bagaimana cara yang baik untuk membrikan suatu solusi yang tepat bagi mereka yang mengalami masalah tersebut.
Manusia, sebagai ciptaan yang sempurna, seharusnya menjadi gambaran dan teladan dari sang Pencipta. Namun, akibat dosa yang masuk ke dalam dunia, keadaan manusia mengalami kerusakan, termasuk pemahaman yang keliru tentang seksualitas. Salah satu dampak dari kerusakan ini adalah penyalahgunaan kebebasan dalam hubungan intim, yang seringkali berujung pada kehamilan di luar nikah. Dalam konteks ini, gereja, sebagai lembaga yang didirikan oleh Tuhan, memiliki peran penting untuk berkontribusi dalam mengatasi permasalahan tersebut. Melalui para hamba Tuhan dan pendeta, gereja dapat memberikan tindakan pastoral, seperti konseling, kepada pasangan yang terlibat dalam hubungan seksual di luar nikah dan menghadapi konsekuensi kehamilan yang tidak direncanakan. Namun, tugas gereja dalam menangani masalah ini tidaklah mudah. Setiap gereja memiliki peraturan dan tata tertib yang mengatur kehidupan jemaatnya. Oleh karena itu, tidak jarang ada perbedaan pendapat antara gereja-gereja mengenai apakah mereka setuju atau tidak untuk terlibat dalam penanganan masalah ini, masing-masing dengan alasan yang berbeda-beda. Meski demikian, kontribusi gereja dalam memberikan bimbingan pastoral tetap sangat diperlukan untuk membantu jemaat mengatasi krisis ini, sesuai dengan ajaran dan kasih Kristus.
Bagaimana seharusnya sikap sebuah lembaga gereja dalam menghadapi permasalahan ini? Apakah masalah ini perlu dibiarkan begitu saja, ataukah gereja harus tetap berperan aktif dalam membimbing jemaat untuk menghadapi tantangan ini? Tentunya, peran gereja dalam mengembalakan jemaat sangatlah penting, agar dapat memberikan pemahaman yang benar mengenai masalah ini. Mengabaikan masalah tersebut bisa berisiko menyebabkan jemaat menjauh dari gereja dan memilih untuk bertindak sesuai dengan kehendak mereka sendiri, tanpa memperhatikan prinsip-prinsip iman yang diajarkan. Dalam konteks ini, kontribusi gereja sangat dibutuhkan, terutama dalam menangani persoalan pernikahan Kristen yang terjadi akibat kehamilan di luar nikah. Gereja memiliki tanggung jawab untuk memberikan bimbingan yang tepat, baik melalui pengajaran yang berlandaskan pada firman Tuhan maupun melalui pelayanan pastoral konseling yang dapat membantu pasangan atau jemaat yang terlibat untuk memahami dan mengatasi masalah mereka. Dengan pendekatan yang penuh kasih dan kebijaksanaan, gereja dapat menjadi tempat pemulihan dan pembaruan, membantu mereka untuk kembali pada rencana Tuhan dalam kehidupan pernikahan dan keluarga.
Pemahaman terkait gereja dan pelayanan pastoral berasal dari makna kata pastoral di mana kata tersebut berasal dari kata pastor (gembala) dalam bahasa Latin.[8] Pernyataan tersebut menjelaskan bahwa untuk menghindari kesalahan pemahaman mengenai istilah “domba” dan “gembala” yang dapat menyesatkan, maka itu kekristenan perlu memperhatikan beberapa hal penting. Mulai dari struktur bahasa Yunani menunjukkan bahwa kedua kata tersebut merujuk pada satu orang yang memegang peran gembala, karena keduanya menggunakan satu kata sandang yang sama. Dalam bahasa Yunani, “gembala” (poimen) berarti seseorang yang merawat ternak, yang dalam konteks ini dipakai secara metaforis untuk menyebut pemimpin rohani dalam suatu gereja. Para gembala bertugas untuk mengawasi dan memenuhi kebutuhan rohani jemaat lokal. Mereka juga dikenal dengan sebutan “penatua” (Kis. 20:17; Tit. 1:5) dan “penilik jemaat” (1 Tim. 3:1; Tit. 1:7). Senada dengan itu, Thurneysen menyatakan, “Penggembalaan merupakan penerapan khusus Injil kepada anggota jemaat secara pribadi, yaitu peran penting membangun kehidupan yang didasarkan pada pemberitaan Injil yang dalam khotbah gereja disampaikan kepada semua orang baik dalam tema pengajaran.”[9] Begitu juga dengan Daniel Ronda, menyatakan dengan istilah berbeda, terkait gembala dan domba adalah manusia yang harus saling menghormati.[10] Menurut Sudarmanto mendefenisikan “Penggembalaan ialah menolong setiap orang untuk menyadari hubungannya dengan Allah dan mengajar orang untuk mengakui ketaatannya kepada Allah dan sesamanya dalam situasinya sendiri.”[11] Sementara Siswanto mengatakan, peran pengajaran tersebut harus terkait dengan pengajaran yang secara tidak langsung terhubung dnegan konseling. Ini merupakan suatu disiplin ilmu non-medis, yang sasarannya adalah untuk memberi fasilitas dan menimbulkan per-tumbuhan serta perkembangan kepribadian, menolong pribadi-pribadi untuk mengubah pola-pola kehidupan yang menyebabkan mereka mengalami kehidupan yang semakin tidak bahagia.”[12]
Pada dasarnya, pastoral ini sangat penting bagi setiap orang yang melakukan pela-yanan yang sedang berjalan terutama kepada pendeta yang sedang melayani para jemaat di gereja.[13] Terdapat berbagai bentuk dan model pelayanan yang dilakukan oleh pendeta, termasuk dalam pelayanan pastoral, yang dijelaskan penelitian ini bahwa pelayanan pastoral tidak hanya dilakukan oleh pendeta, tetapi juga oleh siapa saja yang memiliki hati untuk melayani, terutama dalam konseling pastoral. Istilah “pastoral” dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan sebagai “gembala,” sehingga pelayanan ini juga dikenal dengan istilah penggembalaan. Namun, dalam perkembangannya, istilah yang lebih sering digunakan adalah “pastoral,” meskipun maknanya tidak berbeda dengan penggembalaan. Pastoral merujuk pada kegiatan yang dilakukan untuk mencari dan mengunjungi anggota jemaat satu per satu, terutama mereka yang sedang menghadapi pergumulan atau masalah hidup. Kepada mereka yang dijumpai, pendeta atau pastor mengabarkan Firman Tuhan sesuai dengan kondisi masing-masing, dengan tujuan untuk menguatkan dan membimbing mereka agar iman mereka dapat terwujud dalam kehidupan sehari-hari. Istilah “pastoral” sendiri berasal dari kata Latin “pastor” yang berarti “gembala,” yang dalam bahasa Yunani disebut “poimen.” Oleh karena itu, pastoral dapat diartikan sebagai penggembalaan atau peran seorang gembala.
Penggembalaan ini terkait dengan tugas mereka yang memegang jabatan kepemimpinan di gereja, yang bertanggung jawab untuk memelihara kehidupan rohani jemaat, baik secara individu, keluarga, maupun komunitas. Sebagai seorang gembala, tugas mereka sangat mulia, karena mereka tidak hanya mendengarkan dan dipercayai, tetapi juga menjadi teladan dalam kehidupan sehari-hari. Tugas seorang gembala adalah memastikan bahwa apa yang diajarkan dan dipercayai dapat terwujud dalam tindakan nyata, dalam kehidupan sehari-hari. Penggembalaan mengacu pada pemeliharaan kehidupan manusia secara menyeluruh, meliputi aspek jasmani, mental, dan spiritual, untuk mendukung kesejahteraan jemaat baik di dunia ini maupun dalam kehidupan rohani mereka.
Pengembalaan adalah bentuk pemeliharaan umat Tuhan yang berasal dari ajaran Alkitab, di mana Tuhan sendiri memberikan perhatian dan pemeliharaan bagi setiap umat manusia, termasuk murid-murid-Nya. Dalam praktiknya, seorang gembala memiliki tanggung jawab untuk memberikan perhatian dan pertolongan kepada jemaat yang dilayani, yang dalam Alkitab disebut sebagai “domba Allah.” Tugas ini dijalankan dalam konteks gereja sebagai tubuh Kristus, dengan tujuan untuk memelihara iman jemaat kepada Tuhan.
Pentingnya arti gembala sangatlah mendalam dan luas, seperti yang dijelaskan dalam berbagai buku yang ditulis oleh sejumlah penulis. Pengembalaan itu sendiri berpusat pada kasih Kristus, di mana seluruh umat Allah bersama-sama saling memelihara iman mereka dan berusaha menuju kedewasaan dalam Kristus. Dengan demikian, pengembalaan bukan hanya tugas seorang gembala secara individual, tetapi juga merupakan tanggung jawab kolektif dari seluruh tubuh Kristus untuk bertumbuh dan berkembang dalam iman.[14]
Pengembalaan dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pengembalaan secara umum dan pengembalaan secara khusus. Pengembalaan secara umum ditujukan kepada seluruh jemaat secara kolektif, dengan memberikan perhatian secara menyeluruh. Ini mencakup khotbah, kunjungan jemaat, surat pengembalaan, dan percakapan pengembalaan antara gembala dan jemaat. Tujuannya adalah untuk membangun dan memelihara iman jemaat sebagai satu tubuh dalam Kristus. Sementara itu, pengembalaan secara khusus dilakukan oleh gembala kepada anggota jemaat secara individu atau dalam kelompok kecil. Bentuk pengembalaan ini mencakup konseling pribadi, pengakuan dosa, dan penyelesaian masalah di antara jemaat. Dalam pengembalaan jenis ini, gembala memberikan perhatian lebih mendalam dan khusus untuk membantu jemaat yang sedang menghadapi pergumulan pribadi. Secara umum, tugas seorang gembala mirip dengan tugas gembala dalam dunia perternakan. Selain memelihara, gembala bertugas untuk menuntun, menjaga, memberi makan dan minum, menyembuhkan, mendengarkan, serta menghibur domba-dombanya. Namun, perbedaan mendasarnya terletak pada tujuan pengembalaan itu sendiri. Gembala duniawi memelihara ternak untuk keperluan duniawi, seperti untuk disembelih, diperah susunya, atau diambil bulunya. Sebaliknya, seorang gembala rohani, seperti yang diajarkan dalam Alkitab, memiliki tujuan yang lebih luhur, yaitu membawa umat kepada Tuhan. Gembala rohani memelihara dan merawat jemaat secara rohani, menuntun mereka untuk hidup sesuai dengan kehendak Tuhan, dan bukan untuk kepentingan duniawi.
Tujuan Pelayanan Pastoral: Sebuah Telisik dan Refleksi Alkitab
Dalam Perjanjian Baru, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai Gembala yang baik, yang dengan penuh kasih memelihara, merawat, menuntun, dan menyembuhkan umat-Nya. Bahkan, Dia rela mengorbankan diri-Nya hingga mati di kayu salib untuk mengalahkan segala musuh yang mengancam keselamatan umat-Nya (Yoh 10). Pengorbanan ini menjadi bukti nyata dari kasih-Nya yang tak terhingga, sebagai Gembala yang tidak hanya peduli terhadap domba-domba-Nya, tetapi juga siap memberikan hidup-Nya untuk menyelamatkan mereka.[15] Sebagai seorang gembala yang baik, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan memelihara setiap domba yang dipercayakan kepada kita. Ini adalah teladan yang diberikan oleh Yesus Kristus sebagai Gembala bagi murid-murid-Nya, dan prinsip ini berlaku hingga saat ini. Sebagai pengikut Kristus, kita pun dipanggil untuk melakukan hal yang sama kepada jemaat yang kita gembalakan.
Menurut Siswanto dalam bukunya tentang *Pastoral Gereja*, pelayanan pastoral adalah kegiatan yang dilakukan oleh individu-individu Kristen yang mewakili iman, yang bertujuan untuk menghapuskan dosa dan kesedihan, serta membawa setiap orang menuju kesempurnaan dalam Kristus, sebagai persembahan yang diterima oleh Allah. Tugas ini bukan hanya untuk memberikan bantuan rohani, tetapi juga untuk menuntun jemaat menuju kehidupan yang lebih dekat dengan Tuhan, menghilangkan beban dosa, dan membawa kedamaian dalam hidup mereka.[16]
Dalam Alkitab, Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya, dan menempatkan mereka di Taman Eden dengan mandat untuk memelihara taman tersebut. Namun, Allah juga memberikan satu larangan, yaitu untuk tidak memakan buah dari pohon yang ada di tengah taman, karena jika mereka melakukannya, mereka akan mati. Sayangnya, manusia tidak menaati perintah Allah, melainkan lebih mengikuti nafsu mereka, yang akhirnya menyebabkan mereka jatuh dalam dosa. Akibat dari pelanggaran ini, hubungan manusia dengan Allah menjadi renggang, dan Allah mengusir mereka dari Taman Eden. Namun, Allah tidak membiarkan manusia dalam keadaan terpisah dari-Nya. Sebagai langkah penyelamatan, Allah mengutus Anak-Nya yang Tunggal, Yesus Kristus, untuk datang ke dunia, mati di salib, dan bangkit kembali, agar manusia dapat dipulihkan dan dipersatukan kembali dengan Allah, seperti yang tertulis dalam Yohanes 3:16, 1 Korintus 15:3-4, dan Efesus 2:8-9.
Dalam Kitab Perjanjian Lama, Allah menampakkan diri-Nya dengan cara menuntun, memelihara, dan menghibur bangsa Israel, seperti yang tercatat dalam Yesaya 40:11 dan Mazmur 23. Sebagai contoh, ketika Allah memimpin bangsa Israel keluar dari Mesir menuju tanah perjanjian, Kanaan, Allah menggembalakan mereka dengan tiang awan di siang hari dan tiang api di malam hari. Namun, dalam beberapa kasus, terjadi kehamilan di luar pernikahan kudus, dan jemaat yang mengalami hal tersebut seringkali meminta agar pernikahan mereka segera diberkati, dengan berbagai alasan, seperti agar tidak merasa malu di hadapan keluarga atau jemaat lainnya, serta untuk menyembunyikan kehamilan yang semakin membesar. Dalam menangani kasus ini, pelayanan tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa. Penjelasan diberikan bahwa pasangan tersebut perlu melalui konseling pra-nikah terlebih dahulu, dengan tujuan untuk memberikan pemahaman bahwa hubungan seksual di luar perkawinan Kristen adalah perzinahan. Oleh karena itu, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan untuk mengakui dosa mereka di hadapan Allah, seperti yang dijelaskan oleh Tulus Tu’u.[17]
Soesila memberikan pernyataan dan pengakuan atas apa yang dilakukan agar kekristenan dapat berkomitmen dalam membangun perkawinan seumur hidup tidak dapat dirusak oleh salah satu pasangan tetaapi tetap setia sampai maut memisahkan.[18] Begitu juga dengan Piper berkata, untuk menjalani proses konseling pranikah berguna untuk memberikan pemahaman yang benar tentang hal-hal apa perlu yang dilakukan setelah menikah, jadi “dipersiapkan perkawinan seumur hidup” maka dibangun pernikahan Kristen yang kuat[19] ini dilakukan agar menjadi keluarga yang mengalami pemulihan dan berkomitmen untuk membangun keluarga yang menyenangkan hati Tuhan. Sebab pernikahan sejatinya dirancang oleh Allah untuk memamerkan kemuliaan-Nya dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh peristiwa atau Lembaga lainnya.[20] Begitu juga dengan apa yang dinyatakan oleh Indra Lumintang dan Astuti Lumintang dalam kajiannya tentang bagaimana sejatinya kedua pasangan dalam pernikahan harus memperhatikan kesehatan rohani dan jasmani mereka dengan serius, agar dapat menjaga keutuhan keluarga sebagai lembaga yang utama. Pernikahan bukanlah sekadar pertemuan antara dua individu yang berbeda jenis kelamin, tetapi merupakan penyatuan dua orang dalam satu ikatan yang diatur oleh Tuhan Yesus Kristus, yang menjadikan mereka suami dan istri untuk selamanya. Dengan demikian, pernikahan adalah panggilan untuk saling mendukung, menghormati, dan menjaga hubungan yang diberkati Tuhan, baik dalam aspek rohani maupun jasmani, demi kelangsungan dan keharmonisan keluarga yang mereka bangun bersama.[21] Bahkan dapat menerima tanggung jawab yang lebih besar atas siapa dirinya, menerima perasaan-perasaan sendiri, menghindari tindakan menyalahkan lingkungan atau orang lain atas keadaan yang dihadapinya, dan menyadari bahwa dia kini bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya.” Pernyataan ini memberikan pemahaman bahwa pernikahan bukanlah sesuatu yang dilakukan karena paksaan atau tekanan, apalagi karena kehamilan yang terjadi. Sebaliknya, pasangan yang terlibat dalam pernikahan memiliki tanggung jawab penuh terhadap keputusan mereka, termasuk dalam menghadapi kenyataan bahwa kehamilan telah terjadi dan mereka harus bertanggung jawab atasnya.[22] Hal ini supaya dapat mengerti tentang “perkawinan yang benar” sesuai Alkitab agar membangun keluarga Kristen yang sesuai Alkitab.[23]
Penyimpangan seksual muncul sebagai akibat dari kondisi manusia yang telah jatuh dalam dosa. Sebagai hasil dari keterpisahan manusia dari Tuhan, banyak individu mencari kenikmatan atau kepuasan seksual di luar ikatan perkawinan yang sah, yang seharusnya menjadi wadah yang Tuhan tentukan untuk hubungan intim. Keinginan untuk memuaskan hasrat pribadi seringkali mendorong seseorang untuk melanggar batasan moral dan ajaran yang Tuhan tetapkan.[24] John Piper, dalam kajiannya, menyatakan bahwa salah satu akibat dari penyimpangan seksual adalah kehamilan yang tidak diinginkan. Masalah ini seringkali membuat pasangan, baik pria maupun wanita, merasa tidak siap untuk memasuki kehidupan rumah tangga yang baru. Dampaknya, pasangan tersebut mungkin merasa terpaksa membangun rumah tangga karena kehamilan yang terjadi, meskipun keduanya belum siap secara emosional, finansial, atau mental. Kondisi ini bisa menimbulkan ketegangan dalam hubungan mereka, bahkan menyebabkan perselisihan. Beberapa pasangan, yang merasa tidak mampu menghadapinya, mungkin memilih jalan pintas, seperti menggugurkan kandungan atau melakukan aborsi, sebagai upaya untuk menghindari konsekuensi dari ketidaksiapan mereka dalam membangun keluarga.[25] Namun kenyataan ada beberapa keluarga yang melaksanakan perkawinan dan membentuk rumah tanggga karena telah terjadi kehamilan.[26] Meskipun pada awalnya pasangan pria dan wanita mungkin belum siap untuk membentuk keluarga baru, namun karena kehamilan di luar pernikahan, mereka akhirnya dipaksa untuk menikah dan membina rumah tangga, meski terkadang masih merasa belum siap. Tuhan menciptakan manusia sebagai makhluk seksual, dan dalam konteks ini, setiap individu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan Tuhan. Seperti yang diungkapkan oleh Hersberger, “Seksualitas adalah pemberian Allah, dan manusia melakukan penyimpangan ketika mereka mengabaikan atau tidak menghormati Allah serta tata cara hidup yang diajarkan dalam iman Kristen.[27]
Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebagai makhluk ciptaan Tuhan, manusia diberikan seksualitas sebagai bagian dari kodratnya. Namun, seringkali manusia tidak mengikuti aturan yang seharusnya mengatur hidupnya, dan banyak yang jatuh ke dalam penyimpangan. Meski Tuhan memberikan teguran melalui berbagai cara, banyak yang mengabaikannya dan lebih memilih mengikuti hawa nafsu tanpa mengingat firman Tuhan. Hawa nafsu yang tidak terkendali seringkali berujung pada hubungan intim yang tidak sah, dan akhirnya mengakibatkan kehamilan di luar pernikahan.
Sebagai pemimpin gereja dan kekristenan harusnya memiliki peran penting untuk memberikan pemahaman yang benar kepada jemaat yang dilayani. Salah satunya adalah dengan mengajarkan pentingnya pemahaman tentang pernikahan, baik dalam persekutuan rumah tangga maupun dalam pelatihan yang diberikan kepada pasangan muda. Gereja dan para gembala seharusnya memberikan materi yang mengedukasi jemaat tentang arti dan tujuan pernikahan yang benar, agar mereka dapat mengajarkan hal yang sama kepada anak-anak mereka, khususnya tentang bahaya dan konsekuensi dari kehamilan di luar nikah.
Sebagai orang Kristen yang sudah hidup dalam Tuhan, kita seharusnya mampu mengendalikan hawa nafsu dan meminta pertolongan Tuhan untuk mengatasi godaan-godaan tersebut. Jika ada rasa saling mencintai dan mengasihi dalam sebuah hubungan, maka hal yang perlu ada adalah penahanan diri untuk tidak jatuh dalam dosa hawa nafsu. Penting juga untuk menjaga persekutuan dengan Tuhan, agar kita dijauhkan dari dosa ketika perasaan cinta mulai mengarah pada hubungan intim di luar pernikahan. Sebagai laki-laki dan perempuan yang saling mengasihi, seharusnya mereka dapat menunggu hingga pernikahan kudus sebagai waktu yang tepat untuk mengungkapkan kasih mereka. Oleh karena itu, manusia perlu pertolongan Tuhan agar tidak terjerumus dalam godaan hawa nafsu, yang terkadang juga dipengaruhi oleh kurangnya perhatian dari keluarga, yang bisa mengarah pada perilaku bebas dalam hubungan dengan pacar atau teman.
Terhadap pasangan hamil diluar Pernikahan
Saat ini, ada beberapa perbedaan pandangan di antara gereja-gereja mengenai pernikahan yang terjadi akibat kehamilan di luar nikah. Meskipun semua gereja merujuk pada sumber yang sama, yaitu Alkitab, pemahaman mereka tentang hal ini bisa sangat bervariasi, terutama dalam hal teologi dan praktik gereja. Beberapa gereja berpendapat bahwa jika kehamilan terjadi di luar pernikahan, maka pernikahan tersebut bisa “diteguhkan” di rumah, bukan di gereja, karena mereka merasa bahwa perkawinan yang terjadi bukanlah lagi pernikahan yang kudus. Sementara itu, gereja lain memilih untuk tetap melakukan pemberkatan pernikahan di gereja, dengan alasan bahwa yang terpenting adalah pengakuan dosa oleh kedua mempelai di hadapan Tuhan. Mereka meyakini bahwa Tuhan akan mengampuni dosa mereka dan bahwa pemberkatan pernikahan di gereja tidak seharusnya dibatasi oleh tempat. Bagi mereka, semua manusia adalah pendosa, dan Tuhan menerima setiap orang yang mengakui dosanya dengan tulus.
Pada dasarnya selain itu masih banyak yang tidak setuju dengan pamahaman bahwa perkawinan dapat dilakukan dengan alasan bahwa jika dilakukan maka pasti akan terjadi perceraian dan biarlah anak tersebut lahir dan diplihara oleh salah satu diantara meraka berdua baik itu laki-laki dan perempuan sehingga pada waktu anak sudah dewasa maka ia berhak untuk menetukan siapa yang akan diikuti. Dalam setiap permasalahan yang terjadi dalam hal ini akan mengakibatkan persoalan yang baru nantinya dimana anak yang akan menjadi korban.
Bagaimana Pandangan Alkitab?
Pandangan Alkitab tentang permasalahan dalam hamil diluar pernikahan adalah bahwa manusia diciptakan agar saling mengasihi terutama mengasihi Allah. Manusia diberikan suatu kehendak bebas dalam memilih pasangan hidup dan juga diberikan kebebasan dalam mempertanggung jawabkan apa yang dilakukannya, sehingga dalam hal ini jika manusia melakukan pelanggaran atau dosa maka harus jujur dihadapan Tuhan dan mengakuinya dengan sejujur-jujurnya kepada Tuhan. Karena dengan demikian juga maka ia lebih manaati Tuhan dan menjauhkan segala apa yang telah terjadi dalam hidupnya. Karena segala dosa yang kita lakukan maka perlu juga kita minta pengampunan kepada Tuhan, karena segala yang telah kita perbuat maka kita juga perlu untuk datang dan memohon pengampunan kepada Tuhan.
Bagaimana Pandangan Teologi?
Sebagai ciptaan Tuhan, kekristenan harus menyadari bahwa setiap aspek kehidupannya, termasuk tubuh manusia, adalah milik Allah, dan ini juga mencakup alat kelamin. Manusia memiliki tanggung jawab untuk merawat dan menjaga tubuhnya sebagai pemberian dari Tuhan. Namun, karena kondisi manusia yang berdosa, cara berpikir dan sikap terhadap seksual sering kali terdistorsi. Dampak dari dosa ini mempengaruhi pola pikir, budaya, serta pandangan yang salah tentang seksualitas. Setiap budaya memiliki cara pandang yang berbeda tentang seks, yang sering kali menyebabkan penerapan nilai dan norma etis yang baik tentang seksual tidak tersampaikan dengan jelas dari generasi ke generasi.
Dalam konteks dunia post-modern saat ini, manusia semakin terpengaruh oleh konsep-konsep yang salah tentang seksualitas, dan banyak yang berani mempublikasikan perilaku menyimpang tersebut melalui media. Akibatnya, pemahaman tentang seksualitas menurut Alkitab menjadi semakin kabur, dan banyak orang kehilangan rasa takut akan Tuhan. Mereka mencari pengetahuan atau bahkan terlibat dalam tindakan yang bertentangan dengan prinsip Alkitab tentang seksualitas. Padahal, seksualitas adalah pemberian Allah yang seharusnya membawa kebahagiaan, kasih, pemeliharaan, dan bukan hanya kepuasan diri semata. Semua hal ini telah diatur dengan jelas dalam Alkitab, agar kita tidak melanggar dan merusak tujuan Tuhan dalam menciptakan seksualitas. Ketika manusia mengabaikan prinsip-prinsip ini dan sengaja melanggar aturan yang telah ditetapkan, hal tersebut menyebabkan kemarahan Tuhan dan kesengsaraan bagi diri mereka sendiri, yang pada akhirnya menuntut pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuat.
Pada dasarnya, setiap pelayanan pastoral dapat memberikan bimbingan yang berguna bagi mereka yang membutuhkan pertolongan dalam masalah seperti ini. Namun, efektivitas pelayanan tersebut sangat bergantung pada gereja yang melaksanakan pelayanan pastoral konseling. Memang, tidak jarang pelayanan semacam ini menjadi tantangan, karena ada banyak hal yang perlu diyakinkan kepada mereka melalui penjelasan firman Tuhan, agar mereka dapat menyadari kesalahan mereka dan memohon pengampunan kepada Tuhan. Oleh karena itu, kekristenan hadir untuk menolong mereka, memberikan jalan keluar, dan membantu mereka menemukan pemulihan dalam hidup mereka. Berikut adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam pelayanan pastoral untuk menangani masalah ini: Pertama, seorang pastoral harus memperkenalkan Yesus Kristus kepada mereka. Jika salah satu pasangan belum menerima Yesus Kristus secara pribadi, ini menjadi kesempatan bagi seorang pastoral untuk memperkenalkan Kristus dan mengundangnya untuk menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Dengan demikian, hubungan mereka nantinya akan dibangun di atas dasar iman kepada Yesus Kristus.
Kedua, gembala atau pemimpin gereja sebagai seorang pastoral harus melaksanakan konseling pra-nikah sesuai dengan ajaran kekristenan. Dalam gereja, setiap pasangan yang ingin mendapatkan pemberkatan pernikahan kudus harus terlebih dahulu melewati konseling pra-nikah. Tujuan dari konseling ini adalah untuk mempersiapkan mereka dalam menjalani pernikahan seumur hidup, dengan pemahaman yang mendalam mengenai tanggung jawab dan komitmen dalam pernikahan. Ketiga, sebagai seorang pastoral, sangat penting untuk menuntun pasangan tersebut untuk mengakui dosa mereka dan pelanggaran yang telah mereka lakukan, terutama terkait dengan dosa perzinahan. Pengakuan dosa ini sangat penting agar mereka bisa lebih jujur dan sadar akan kesalahan mereka. Juga perlu diingatkan bahwa dosa perzinahan adalah perbuatan yang tidak baik dan tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, serta mereka perlu berkomitmen untuk hidup dalam kekudusan dan tidak mengulanginya lagi (1 Yoh 1:9). Keempat, setelah langkah-langkah di atas dilalui, baru dilakukan peneguhan pernikahan. Meskipun demikian, setelah melewati konseling khusus, pemberkatan pernikahan dapat dilakukan di rumah, dengan tetap mengumumkan kepada jemaat bahwa pasangan tersebut telah menjalani konseling dan siap untuk melanjutkan hidup bersama. Kelima, gereja harus memberikan pemahaman kepada jemaat mengenai pentingnya hidup sesuai dengan kehendak Tuhan. Mereka harus dijauhkan dari segala tindakan yang tidak menyenangkan Tuhan, termasuk dosa-dosa yang dibenci-Nya. Gereja perlu menekankan pentingnya menguduskan diri, agar tetap berjalan di jalan yang benar dan sesuai dengan ajaran Tuhan. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan pasangan yang mengalami masalah dapat dipulihkan, dan gereja dapat berperan dalam memfasilitasi proses pemulihan serta mempersiapkan mereka untuk membangun keluarga yang sehat dan sesuai dengan prinsip-prinsip kekristenan.
Dari pembahasan diatas, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, pelayanan pastoral konseling dalam kasus kehamilan di luar pernikahan sangat bermanfaat, karena dapat membantu individu untuk menyadari pentingnya nilai-nilai kekristenan, terutama dalam kehidupan remaja Kristen. Kedua, melalui gereja, individu akan dibekali dengan dasar iman yang kuat, yang akan membantu mereka menyadari perbuatan mereka dan menerima tanggung jawab atas keputusan yang telah mereka buat. Selain itu, mereka juga akan semakin memahami konsekuensi dari tindakan yang telah dilakukan. Ketiga, gereja memiliki peran yang sangat penting dalam memberikan pemahaman dan bimbingan melalui pelayanan pastoral konseling, agar mereka yang telah melakukan kesalahan dapat menemukan jalan keluar dan penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Gereja harus menjadi sarana yang mendukung jemaat untuk menghadapi tantangan dan permasalahan dalam hidup mereka. Keempat, salah satu fokus utama pelayanan gereja adalah mempersiapkan jemaat untuk membangun keluarga Kristen yang taat dan takut akan Tuhan, melalui konseling pra-nikah. Pasangan yang akan menikah perlu memahami arti dan tanggung jawab pernikahan, yang bukan hanya sekadar keputusan seumur hidup, tetapi juga panggilan untuk membangun hubungan yang penuh komitmen dan kasih. Persiapan mental dan spiritual sangat penting agar pasangan dapat menjalani kehidupan keluarga sesuai dengan ajaran Alkitab, yang mengajarkan tentang hubungan yang baik dalam membangun keluarga yang sehat dan benar di hadapan Tuhan. Dengan demikian, para muda-mudi juga akan lebih memahami bahwa dosa perzinahan adalah sesuatu yang dibenci oleh Tuhan dan harus dijauhi.
Abstrak: Pendidikan Agama Kristen (PAK) memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan mahasiswa. Jurnal ini bertujuan untuk menguji pengaruh pengajaran Alkitab terhadap pembentukan karakter mahasiswa di lingkungan kampus STAK BMW Wonogiri.
Pengarang: Dr. Maria Dewi Suhartati
Tanggal Terbit: 15 September 2023
endahuluan: Pendidikan agama Kristen merupakan bagian integral dari perkembangan pribadi mahasiswa di STAK BMW Wonogiri. Artikel ini mengeksplorasi bagaimana pengajaran Alkitab berkontribusi terhadap pembentukan karakter mahasiswa.
Metode Penelitian: Penelitian ini menggunakan metode survei dan wawancara untuk mengumpulkan data dari sejumlah mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pendidikan Agama Kristen. Data dianalisis menggunakan teknik statistik untuk mengidentifikasi pengaruh pengajaran Alkitab pada karakter mahasiswa.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengajaran Alkitab memiliki dampak yang signifikan pada perkembangan karakter mahasiswa. Mahasiswa yang terlibat dalam pengajaran Alkitab cenderung lebih memiliki nilai-nilai moral, empati, dan integritas yang kuat.
Kesimpulan: Pendidikan Agama Kristen dan pengajaran Alkitab adalah alat yang kuat dalam membentuk karakter dan moral mahasiswa. Oleh karena itu, pengembangan program pendidikan agama Kristen yang efektif harus menjadi prioritas bagi institusi pendidikan.
Kata Kunci: Pendidikan Agama Kristen, Pengajaran Alkitab, Karakter Mahasiswa, Moral, Nilai-nilai Kristen
Catatan Penulis: Artikel ini dibuat sebagai contoh ilustratif dan bukan hasil penelitian aktual. Data yang digunakan dalam jurnal ini adalah simulasi dan bukan data aktual dari mahasiswa STAK BMW Wonogiri.
Link Unduh Jurnal : https://drive.google.com/file/d/1RQjXpxfsAR5Onpk6fhYkirBUxQmfAF1p/view